Sandra nampak selalu siaga melindungi Thomas, anaknya yang baru menginjak usia 5 bulan. Siapapun yang berusaha mendekati Thomas, pasti akan berhadapan dengan Sandra. Begitulah keseharian induk bison Eropa dan anaknya di Taman Safari Prigen.
Thomas hanyalah satu dari sekian banyak bukti keberhasilan breeding (pengembangbiakkan) satwa di Taman Safari Prigen, Jawa Timur. Jadi, jangan heran bila Anda mengunjungi Taman Safari Prigen, Anda akan disambut oleh banyak baby satwa. Sebab, angka kelahiran satwa di Taman Safari terluas dan terbesar di Asia ini merupakan yang tertinggi.
Sejak didirikan pada 1997, sudah banyak cerita keberhasilan kelahiran satwa di Taman Safari Prigen. Sebut saja, singa, siamang, mandril, bison Eropa, bison Amerika, bekantan, dan lain-lain. Menurut drh. Hanif, ada banyak penyebab satwa bisa berkembangbiak dengan baik di Taman Safari Prigen. “Di sini lahannya cukup luas, 250 hektar. Sehingga satwa-satwa lebih bebas berkeliaran dan tidak stress,” ujar drh Hanif, dokter hewan di Taman Safari Prigen.
Langkah awal proses breeding, tim Life Sciences (LS) Prigen akan berusaha menjodohkan satwa jantan dan betina. “Kita mencoba untuk mendekatkan dulu keduanya,” ujar Hanif. Jika keduanya cocok, maka hanya tinggal menunggu waktu si satwa jantan dan betina untuk kawin. Dari situ, akan dilakukan pengamatan apakan perkawinan dua sejoli ini berhasil atau tidak. Selama kondisi keduanya tidak stres dan sehat, maka rasio kemungkinan berkembang biak pun menjadi semakin besar.
“Perkawinan itu bisa terjadi kalau si betinanya sudah birahi,” tutur Hanif. Masa birahi tiap satwa itu berbeda-beda. Hanif mencontohkan satwa seperti sapi, banteng dan sejenisnya, biasanya mengalami birahi setiap 21 hari sekali. Ada pula ciri-ciri fisik dari si satwa yang menandakan ia siap untuk kawin. Suhu badan yang hangat, alat kelamin membengkak dan memerah, adalah ciri-ciri umum sapi dan sejenisnya yang siap kawin.
Perkawinan satwa ini pun tidak bisa sembarangan. “Konservasi itu justru menghindari perkawinan sedarah,” ungkap Hanif. Jadi begini, misalnya banteng jantan dan betina sama-sama berasal dari Jerman, maka itu tidak diperbolehkan untuk kawin. Sebab, ada kemungkinan keduanya berasal dari satu darah. Sebisa mungkin dikawinkan dengan asal daerah yang berbeda. Sama halnya seperti manusia, perkawinan sedarah antar satwa akan mengakibatkan munculnya penyakit dan kecacatan pada si anak yang baru dilahirkan. “Makanya kami perketat recording untuk masing-masing satwa, demi menghindari perkawinan sedarah,” ujar Hanif.
Menurut Hanif, perkawinan untuk satwa yang hidup berkelompok itu lebih mudah ketimbang satwa soliter. “Khusus untuk satwa soliter butuh usaha pendekatan lebih ekstra, seperti harimau dan badak,” ucap Hanif. Pada umumnya, proses perjodohan di awal sendiri membutuhkan waktu 1-3 bulan, tergantung dari karakter masing-masing satwa.
Setelah sukses kawin, tugas keeper dan dokter hewanlah untuk mengawasi perkembangan si betina. Misalnya, siklus birahi terjadi tiap 21 hari sekali, jika pada siklus berikutnya ia birahi kembali maka bisa dipastikan perkawinannya belum berhasil. Namun sebaliknya, bila si betina tidak mengalami birahi, maka kemungkinan besar ia tengah bunting. Diakui Hanif, pencatatan dan pengamatan amat sangat diperlukan dalam proses breeding ini.
Hanif menjelaskan, sukses atau tidaknya breeding dipengaruhi beberapa hal. Salah satunya adalah pakan. Betina diharuskan mengonsumsi pakan yang bagus dan berkualitas demi kesehatan sel telurnya. Selain itu, faktor genetik dan lingkungan juga turut berpengaruh. “Lingkungan itu sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologis satwa, apakah stres atau tidak,” jelas Hanif. Bila ketiganya mendukung, maka breeding pun bisa berjalan dengan baik. Seperti yang terjadi selama ini di Taman Safari Prigen, dengan catatan kelahiran satwa yang cukup mengesankan. (fjr/tsi)